USAHA Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) telah lama menjadi penopang utama perekonomian nasional. Data Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan, sektor ini menyumbang lebih dari 60 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menampung sekitar 97 persen tenaga kerja Indonesia. Namun, di tengah gelombang digitalisasi yang semakin kuat, tidak semua pelaku UMKM memiliki kesempatan yang sama untuk beradaptasi.
Transformasi digital menjanjikan kemudahan akses pasar, efisiensi biaya, serta peluang peningkatan produktivitas. Melalui platform digital, pelaku usaha kecil dapat menjangkau konsumen di berbagai wilayah, bahkan hingga luar negeri. Namun, di balik peluang besar itu, terdapat realitas yang tidak bisa diabaikan: kesenjangan akses dan literasi digital yang masih lebar antara pelaku usaha di kota dan di daerah.
Ketimpangan Akses Digital Masih Lebar
Perkembangan teknologi belum menyentuh seluruh wilayah Indonesia secara merata. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, lebih dari 70 persen UMKM yang sudah go digital berada di Pulau Jawa, sementara di luar Jawa, terutama di kawasan timur, angkanya masih di bawah 30 persen. Ini menunjukkan bahwa digitalisasi belum sepenuhnya menjadi sarana pemerataan ekonomi, melainkan justru berpotensi memperlebar kesenjangan baru.
Keterbatasan infrastruktur menjadi kendala utama. Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), masih terdapat sekitar 12 persen wilayah Indonesia yang belum terjangkau jaringan internet stabil, terutama di daerah-daerah terpencil. Akibatnya, pelaku UMKM di wilayah tersebut sulit memanfaatkan potensi digitalisasi, baik untuk promosi, transaksi, maupun pengembangan produk.
Selain akses jaringan, biaya perangkat digital seperti gawai, komputer, dan koneksi internet juga menjadi beban tersendiri bagi pelaku usaha mikro. Di banyak daerah, pelaku UMKM masih harus memilih antara memenuhi kebutuhan bahan baku atau membeli perangkat untuk mendukung kegiatan digital. Ini memperlihatkan betapa kesenjangan ekonomi dan digital saling memperkuat satu sama lain.
Literasi Digital Masih Rendah
Masalah lain yang tidak kalah penting adalah minimnya literasi digital di kalangan pelaku usaha kecil. Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat, baru sekitar 35 persen pelaku UMKM yang memiliki tingkat literasi digital memadai. Sebagian besar masih menggunakan cara konvensional seperti penjualan langsung atau promosi dari mulut ke mulut.
Banyak pelaku UMKM belum memahami cara memanfaatkan platform e-commerce, media sosial, atau sistem pembayaran digital secara efektif. Padahal, tanpa pemahaman tersebut, digitalisasi hanya menjadi tren yang lewat tanpa makna bagi mereka. Akibatnya, produk lokal yang sebenarnya berkualitas sering kali kalah bersaing karena tidak tampil dengan strategi branding dan pemasaran yang menarik.
Contoh sederhana dapat dilihat dari pelaku usaha di daerah yang sudah memiliki produk unggulan, seperti kopi, tenun, atau makanan khas, namun tidak mampu menembus pasar nasional karena kurangnya kemampuan dalam promosi digital. Foto produk yang kurang menarik, deskripsi yang tidak informatif, hingga pengelolaan media sosial yang seadanya menjadi kendala yang sering muncul.
Kendala Modal dan Akses Pembiayaan
Transformasi digital tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan modal tambahan. Pelaku UMKM membutuhkan dana untuk membeli perangkat, mengikuti pelatihan, atau beriklan di platform digital. Namun, menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sekitar 69 persen UMKM belum memiliki akses terhadap lembaga keuangan formal.
Meskipun program seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) sudah membantu sebagian pelaku usaha, masih banyak yang kesulitan memenuhi syarat administratif atau agunan. Di sisi lain, akses terhadap pembiayaan berbasis digital seperti fintech lending memang semakin terbuka, tetapi risikonya juga meningkat jika tidak ada pengawasan dan literasi keuangan yang cukup.
Tanpa dukungan finansial yang kuat, pelaku UMKM akan terus tertinggal dalam proses digitalisasi. Padahal, sektor ini menjadi kunci penting dalam menjaga daya tahan ekonomi nasional, terutama di masa penuh ketidakpastian seperti saat ini.
Ketergantungan pada Platform Besar
Digitalisasi juga membawa tantangan baru berupa ketergantungan pada platform besar seperti marketplace dan media sosial. Di satu sisi, keberadaan platform ini membuka peluang luas bagi UMKM untuk menjangkau pasar nasional. Namun, di sisi lain, pelaku usaha menjadi sangat bergantung pada algoritma dan biaya promosi digital yang terus berubah.
Banyak pelaku UMKM mengaku penjualannya turun drastis ketika algoritma platform berubah atau biaya iklan meningkat. Ketergantungan ini menimbulkan kerentanan baru karena pelaku usaha tidak memiliki kendali atas sistem yang mereka gunakan. Maka dari itu, penting bagi pelaku UMKM untuk membangun strategi digital yang lebih mandiri, misalnya melalui situs web pribadi, komunitas pelanggan, atau kolaborasi lintas usaha.
Langkah Strategis untuk Pemerataan Digitalisasi
Digitalisasi UMKM membutuhkan kebijakan yang komprehensif dan berpihak. Pertama, pemerintah perlu mempercepat pembangunan infrastruktur digital di wilayah luar Jawa dan daerah tertinggal. Internet cepat dan stabil harus diperlakukan sebagai kebutuhan dasar ekonomi, bukan sekadar fasilitas tambahan.
Kedua, pelatihan literasi digital perlu diperluas dengan pendekatan berbasis komunitas. Pendampingan langsung, penggunaan bahasa lokal, dan contoh penerapan sederhana akan lebih efektif dibandingkan pelatihan formal yang kaku. Pemerintah daerah dapat menggandeng perguruan tinggi, komunitas teknologi, dan perusahaan digital untuk memperkuat program pendampingan ini.
Ketiga, perlu adanya kebijakan insentif bagi pelaku UMKM yang berinovasi di bidang digital. Misalnya, pemberian subsidi data internet, potongan pajak, atau bantuan peralatan digital bagi pelaku usaha yang membuktikan peningkatan kinerja melalui teknologi. Langkah ini akan mendorong lebih banyak pelaku usaha untuk berani bertransformasi.
Selain itu, lembaga keuangan harus memperluas akses pembiayaan berbasis digital dengan bunga rendah dan sistem yang mudah diakses. Skema kredit mikro berbasis reputasi digital dapat menjadi solusi untuk pelaku usaha yang belum memiliki jaminan aset. Namun, pengawasan dari otoritas tetap diperlukan agar tidak muncul praktik pinjaman dengan bunga tinggi yang justru menjerat pelaku usaha kecil.
Digitalisasi Harus Inklusif
Transformasi digital bukan hanya soal kecepatan teknologi, tetapi juga soal keadilan akses. Jika hanya sebagian kecil pelaku UMKM yang dapat menikmati manfaat digitalisasi, maka ketimpangan sosial dan ekonomi akan semakin lebar.
UMKM adalah wajah nyata ekonomi rakyat. Mereka bukan hanya bagian dari statistik, melainkan penopang hidup jutaan keluarga di seluruh pelosok negeri. Negara memiliki tanggung jawab memastikan bahwa arus digitalisasi membawa manfaat bagi semua pelaku usaha, bukan hanya mereka yang sudah memiliki modal dan akses teknologi.
Digitalisasi seharusnya menjadi alat pemerataan ekonomi. Oleh karena itu, setiap kebijakan, program, dan strategi pemerintah harus diarahkan untuk menjadikan teknologi sebagai jembatan, bukan tembok pemisah antara yang maju dan yang tertinggal.
Di tengah arus perubahan global yang semakin cepat, keberhasilan digitalisasi UMKM akan menjadi indikator nyata sejauh mana Indonesia mampu mewujudkan ekonomi inklusif dan berkeadilan. (*)
Tulis Komentar