Iklan Dua

Hidup Selaras dengan Alam: Filsafat Ekologi sebagai Dasar Pembangunan NTT

$rows[judul] Keterangan Gambar : Laurensius Bagus, Mahasiswa universitas Cokroaminoto Yogyakarta dan Aktivis Sosial
DI BANYAK kampung di Nusa Tenggara Timur, hidup bersama alam bukanlah sekadar pilihan, melainkan cara bertahan. Air yang menetes dari mata air di bebatuan, ladang yang hanya bergantung pada hujan, dan hewan ternak yang digembalakan di padang sabana—semuanya adalah bagian dari keseharian yang menuntut kebijaksanaan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, cara hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi ini mulai tergeser oleh pola pikir pembangunan yang sering kali memandang alam sebagai sumber daya semata, bukan sahabat kehidupan.

Kita menyaksikan banyak wilayah di NTT diubah menjadi kawasan industri kecil, pariwisata, atau pertanian skala besar. Di balik euforia itu, ada kenyataan lain yang jarang dibicarakan: sumber air yang menyusut, tanah yang mengeras dan tak lagi subur, ternak yang kehilangan padang penggembalaan, dan masyarakat adat yang kehilangan ruang hidupnya. Di sinilah letak persoalan fundamental pembangunan kita: kemajuan yang tak lagi selaras dengan alam, padahal alam adalah dasar dari semua kehidupan di pulau-pulau kering ini.

NTT dikenal sebagai wilayah dengan curah hujan rendah dan kondisi alam yang keras. Tetapi, dalam kondisi itu, masyarakat lokal justru mengembangkan sistem pengetahuan ekologis yang luar biasa. Di Sumba, ada tradisi menjaga sumber air melalui larangan adat—air dianggap “berjiwa”, tak boleh sembarangan diambil atau dicemari. Di Manggarai, ada sistem lingko, pengaturan lahan yang adil dan berpola jaring laba-laba, menunjukkan keteraturan antara manusia dan tanah. Di Lembata dan Flores Timur, masyarakat mengenal hari pantangan laut, di mana nelayan dilarang melaut untuk memberi waktu laut “bernapas”. Semua itu bukan mitos kosong, melainkan bentuk filsafat ekologis yang hidup—sebuah kesadaran bahwa manusia hanyalah bagian dari siklus besar kehidupan.

Namun, dalam arus pembangunan modern, kebijaksanaan lokal ini kerap dianggap kuno. Banyak kebijakan pembangunan di NTT lahir tanpa mengacu pada kearifan ekologis masyarakat. Pembangunan pariwisata, misalnya, sering kali lebih menonjolkan citra eksotis—pantai, bukit, dan savana—tapi mengabaikan keseimbangan ekosistem dan masyarakat sekitar. Kita melihat contoh di beberapa titik wisata di Labuan Bajo, di mana peningkatan investasi tak selalu diikuti oleh tata kelola lingkungan yang bijak. Di sisi lain, eksploitasi tambang di beberapa wilayah juga menimbulkan konflik antara kebutuhan ekonomi dan kelestarian alam.

Masalahnya bukan pada pembangunan itu sendiri, tetapi pada arah dan nilai yang melandasinya. Bila pembangunan diletakkan di atas logika pasar semata, maka alam akan terus menjadi korban. Tetapi bila kita memulainya dari kesadaran ekologi bahwa tanah, air, dan udara adalah sumber kehidupan yang harus dijaga—maka pembangunan akan memiliki ruh. NTT bisa tumbuh tanpa kehilangan jati dirinya.

Secara data, kita dapat melihat bahwa degradasi lingkungan di NTT terus meningkat. Berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2024, sekitar 70 persen wilayah NTT rawan kekeringan setiap tahun. Data dari KLHK juga menunjukkan lebih dari 500 ribu hektar lahan kritis tersebar di pulau Timor, Sumba, dan Flores. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan peringatan bahwa pembangunan kita sedang berjalan di atas fondasi yang rapuh. Di tengah situasi ini, menghidupkan kembali filsafat ekologi menjadi keniscayaan, bukan romantisme masa lalu.

Filsafat ekologi mengajarkan bahwa kemajuan sejati bukan diukur dari banyaknya gedung atau jalan baru, melainkan dari keseimbangan antara manusia dan alam. Dalam konteks NTT, ini berarti membangun dengan memahami batas alam. Infrastruktur air, misalnya, harus berbasis pada pemetaan sumber mata air dan pola hujan setempat. Pengembangan pariwisata harus memperhatikan daya dukung lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal, bukan hanya keuntungan investor. Pertanian harus mengedepankan sistem agroekologi yang menghormati tanah dan musim.

Di sinilah pentingnya memasukkan nilai-nilai lokal dalam kebijakan publik. Filsafat hidup masyarakat NTT sudah lama berakar pada prinsip keseimbangan: “manusia baik karena menjaga alam”. Bila prinsip ini dijadikan arah pembangunan, maka pembangunan itu akan memiliki akar, bukan hanya cabang. Kita perlu pemerintah yang tidak hanya membangun fisik, tetapi juga memperkuat cara berpikir ekologis di sekolah, gereja, dan ruang publik. Pendidikan tentang alam harus menjadi bagian dari pendidikan karakter anak-anak NTT.

Pembangunan yang berkelanjutan di NTT hanya mungkin jika kita kembali memandang alam sebagai subjek, bukan objek. Alam bukan sekadar “bahan baku pembangunan”, tetapi mitra yang harus dihormati. Filsafat ekologi menawarkan jalan tengah antara modernitas dan kearifan lokal antara kemajuan dan keberlanjutan.

NTT tak akan maju jika tanahnya rusak, airnya hilang, dan warganya tercerabut dari budaya menjaga alam. Karena pada akhirnya, semua pembangunan bermuara pada satu hal sederhana: hidup selaras dengan bumi tempat kita berpijak. Alam telah lama menjaga orang NTT; kini saatnya orang NTT menjaga alamnya kembali. (*)

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)